Minggu, 13 November 2011

budaya batak


A.    Identifikasi
1.      Sejarah Batak
Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba. Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama  Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.
Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus. Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan, Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya,Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).
Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh  keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dan sebagainya. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada tiga orang yaitu : GURU TETEA BULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-marga Batak.


2.      Subsuku Batak
Dalam buku ANEKA RAGAM BUDAYA BATAK [Seri Dolok Pusuk Buhit-10] terbitan YAYASAN BINABUDAYA NUSANTARA TAOTOBA NUSABUDAYA, 2000 hal 31, menyebutkan bahwa etnis Batak sesungguhnya ada sebelas, yaitu:
  1. Batak Toba (Tapanuli)
  2. Batak Simalungun
  3. Batak Karo
  4. Batak Mandailing
  5. Batak Pakpak
  6. Batak Pasisir
  7. Batak Angkola
  8. Batak Padanglawas
  9. Batak Melayu
  10. Batak Nias
  11. Batak Alas Gayo

3.      Wilayah Bermukim
Dalam tata pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata pemerintahan Kolonial Belanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi Kabupaten setelah Indonesia merdeka.
Subsuku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Empat tahun terakhir ini, Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara (ibukota Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten Samosir (ibukota Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong), Kabupaten Humbang Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul).          
Sub suku Batak Simalungun mayoritas bermukim di wilayah Kabupaten Simalungun (ibukota Pematang Siantar) namun dalam jumlah yang lebih kecil juga bermukim di kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Asahan.
Subsuku Batak Karo mayoritas berdiam di Kabupaten Karo dengan ibukota Kabanjahe, namun sebagian juga tersebar di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Mereka yang bermukim di wilayah Kabupaten Karo kerap disebut sebagai Karo Gunung, sementara yang di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang kerap disebut dengan Karo Langkat.
Subsuku Batak Mandailing dan Angkola bermukim di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) dan Kabupaten Mandailing Natal (sering disingkat dengan Madina dengan ibukota Penyabungan). Kabupaten ini berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapsel.
Subsuku Batak Pakpak terdiri atas 5 sub Pakpak yaitu Pakpak Kelasen, Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Pegagan, bermukim di wilayah Kabupaten Dairi yang kemudian dimekarkan pada tahun 2004 menjadi dua kabupaten yakni: Kabupaten Dairi (ibukota Sidikalang)dan Kabupaten Pakpak Bharat (ibukota Salak). Suku Batak Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.Suku Pakpak yang tinggal diwalayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Kelasan. Dalam jumlah yang sedikit, suku Pakpak juga bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Subsuku Batak Pasisir mendiami wilayah Pantai Barat antara Natal dan Singkil.
Subsuku Batak Padang Lawas mendiami wilayah Sibuhuan, A.Godang, Rambe,Harahap.
Subsuku Batak Melayu mendiami Wilayah Pesisir Timur Melayu.
Subsuku Batak Nias mendiami Pulau Nias.
Subsuku Batak Alas bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Populasi mereka meningkat pasca Perang Aceh dimana pada masa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda, suku Batak Toba selalu mengirimkan bala bantuan. Setelah perang usai, mereka banyak yang bermukim di wilayah Aceh Tenggara.

B.    Mata Pencaharian
Topografi Sumatera Utara terkenal dengan daerah pegunungan dan daerah ini merupakan hasil letusan gunung berapi terbesar di dunia yang meletus pada ribuan tahun lalu. Hal tersebut menjadikan wilayah ini menjadi sangat subur dan cocok untuk daerah pertanian. Oleh karena itu, masyarakat Batak pada umumnya memiliki mata pencaharian  dari bertani.
Persentasi mata pencaharian per kabupaten: 
Kabupaten/Kota
Pertanian
Industri
J a s a
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
       Kabupaten
   1. N i a s
89,97
2,30
7,73
100,00
   2. Mandailing Natal
78,48
5,05
16,47
100,00
   3. Tapanuli Selatan
87,89
1,22
10,89
100,00
   4. Tapanuli Tengah
68,56
5,87
25,57
100,00
   5. Tapanuli Utara
82,30
2,27
15,43
100,00
   6. Toba Samosir
85,95
0,85
13,20
100,00
   7. Labuhan Batu
73,21
3,23
23,56
100,00
   8. A s a h a n
51,33
13,88
34,79
100,00
   9. Simalungun
62,10
9,74
28,16
100,00
 10. D a i r i
83,50
1,33
15,17
100,00
 11 .K a r o
80,63
1,40
17,97
100,00
 12. Deli Serdang
27,16
29,17
43,67
100,00
 13. L a n g k a t
61,68
13,66
24,66
100,00
       Kota
 71. S i b o l g a
26,94
10,07
62,99
100,00
 72. Tanjung Balai
22,65
12,88
64,47
100,00
 73. Pematang Siantar
3,41
16,02
80,57
100,00
 74. Tebing Tinggi
3,41
19,71
76,88
100,00
 75. M e d a n
3,86
23,40
72,74
100,00
 76. B i n j a i
13,01
22,80
64,19
100,00
 77. P.Sidempuan
18,73
13,35
67,92
100,00
       Sumatera Utara
51,60
13,05
35,35
100,00
 Sumber : BPS-Survey Sosial Ekonomi Nasional 2004

Pada subsuku Batak Simalungun dikenal istilah marjuma, yaitu berladang dengan cara menebas hutan belukar (mangimas) yang mengolahnya untuk tanaman palawija seperti padi, jagung, ubi. Selain itu ada juga yang mengolah persawahan (sabah) seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon dengan luas yang relatif sedikit dengan cara-cara tradisional. Pada sistem bercocok tanam di ladang,  Huta/Kuta-lah yang memegang hak ulayat tanah dan hanya warga Huta/Kuta tersebut yang berhak memakainya, mereka dapat menggarapnya tapi tidak dapat menjualnya tanpa persetujuan Huta.
Selain tanah Ulayat terdapat juga tanah individual yang terbagi atas:
a.   Tanah Panjaean, yaitu tanah yang diberikan kepada seorang laki-laki oleh orang tuanya setelah ia kawin sebagai modal usahanya dalam mencari nafkah.
b.   Tanah Pausean, yaitu tanah yang diterima oleh seorang anak perempuan dari orang tuanya pada hari pernikahannya.
c.    Tanah Parbagian, yaitu tanah yang diwarisi oleh seorang anak laki-laki dari orang tuanya yang telah meninggal.
Perluasan tanah individual selain dengan cara-cara diatas dapat pula dengan cara mangarimba atau membuka sendiri tanah baru yang belum berada dibawah hak ulayat Huta/Kuta-nya.
Pada umumnya, panen padi berlangsung setahun sekali namun di beberapa tempat panen berlangsung 2-3 kali setahun (marsitatolo). Dalam bercocok tanam baik di sawah maupun di ladang, seorang perempuan batak bertugas dalam tahap-tahap menanam, menyiangi, dan menuai, sedangkan kaum laki-laki Batak mengerjakan tahap-tahap seperti membersihkan belukar hutan, menebang pohon, membakar hutan, menyiapkan saluran-saluran dan pematang-pematang irigasi, membajak, menggaru dan sebagainya. Orang batak mengenal system gotong royong dalam bercocok tanam yang disebut Raron dalam bahasa Karo atau marsiurupan dalam bahasa toba. Alat yang digunakan dalam bercocok tanam adalah cangkul, bajak, dan tongkat tugal. Bajak biasanya ditarik oleh kerbau atau sapi. Sabit dipakai untuk memotong padi tetapi ada juga yang memakai ani-ani.
Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata pencaharian penting pada orang batak. Misalnya memelihara kerbau, sapi, babi, kambing, ayam dan bebek. Kerbau juga dibutuhkan untuk menarik bajak di sawah sedangkan babi selain dimakan juga sebagai pelengkap upacara adat.
Di daerah tepi danau toba dan di pulau samosir, pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara intensif dengan perahu (solu), hasil tangkapannya lalu dijual di kota-kota sekitarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama dengan para pemuda di losung huta. Di sini biasanya, pada zaman dahulu para pemuda itu akan memilih pasangannya.

C.     Sistem Kekerabatan dan Kemasyarakatan
1.      Sistem Kekerabatan
Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan berdasarkan satu ayah disebut sada bapa atau sada nini pada orang Batak Karo, atau saompu atau saama pada orang Batak Toba.
Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya, yang disebut jabu (bahasa Karo) atau ripe (bahasa Toba). Meskipun demikian, istilah jabu atau ripe juga sering dipakai untuk suatu keluarga luas yang virilokal (tinggal di tempat keluarga pihak laki-laki), karena banyak orang Batak muda yang sudah kawin tetap tinggal bersama dalam satu rumah dengan orangtuanya.
Orang Batak mengenal klen kecil dan klen besar. Klen kecil adalah kelompok kekerabatan patrilineal sada nini atau saompu, sedangkan klen besar adalah kelompok kekerabatan patrilineal satu nenek moyang hingga generasi ke-20. Istilah lainnya adalah satu merga (Karo) atau marga (Toba).
Perlu kita ketahui, pada orang Batak Karo marga berupa nama kolektif sedangkan marga pada orang Batak Toba menunjukkan nama dan nenek moyang asal. Misalnya: Perangin-angin Bangun bukan berarti bahwa dulunya nama nenek moyangnya adalah Bangun anak dari Perangin-angin. Sebaliknya, Silo Siregar berarti bahwa nenek moyangnya bernama Silo anak dari Siregar.
Dalam kehidupan masyarakat Batak ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap. Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok kerabat tempat isterinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya. Masing-masing kelompok mempunyai nama, yaitu:
  1. Kelompok pertama: hula-hula atau kalibumbu, orangtua dari pihak isteri, atau kelompok pemberi gadis,
  2. Kelompok kedua: anak boru atau anak beru, suami dan saudara (hahaangi) perempuan, kalompok penerima gadis,
  3. Kelompok ketiga: dongan tobu atau senina, saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan patrilineal, atau kelompoknya sendiri.
Hubungan antara ketiga kelompok tersebut disebut sangkep sitelu (dalihan na tolu dalam bahasa Toba). Hubungan tersebut tampak jelas dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, kematian, penyelesaian pertikaian, dan sebagainya.
Kalibumbu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap anak boru dan bagi seorang Batak, kaum kerabat isterinya itu merupakan debata ni idah (dewa-dewa yang tampak). Sebagai anak boru, ia harus berusaha supaya kaum kerabat isterinya itu diperlakukan secara terhormat.
Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui dari system kekerabatan suku Batak, yaitu:
1.      Marga
Marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu. Menurut buku "Leluhur Marga-Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

Beberapa contoh marga dalam suku Batak:
a.      Marga Batak Karo
1.      Karo-karo
2.      Tarigan
3.      Ginting
4.      Sembiring
5.      Perangin-angin
b.      Marga Batak Toba
1.      Sitomorang
2.      Sinaga
3.      Pandiangan
4.      Nainggolan
5.      Simatupang
6.      Aritonang
7.      Siregar
8.      Nai Ambaton
9.      Nai rasaon
10.  Lubis
11.  Pulungan
12.  Tanjung
13.  Harahap
14.  Sipahutar, dll
c.       Marga Batak Simalungun
1.      Purba
2.      Saragih
3.      Damanik
4.      Sinaga dan Sipajung
2.      Tarombo
Tarombo adalah silsilah, asal usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling "mardongan sabutuha" (semarga) dengan panggilan "ampara" atau "marhula-hula" dengan panggilan "lae/tulang". Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru" (adik perempuan ayah/bibi),"Amangboru/Makela",(suami dari adik ayah/Om)”Bapatua/ Amanganggi/ Amanguda ”(abang/adik ayah), Ito/ boto” (kakak/ adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki-laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dan seterusnya.

3.      Dalihan Natolu
Salah satu contoh adat istiadat batak adalah “Dalihan Natolu”. “Dalihan Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. “Dalihan Natolu” yaitu:

i.        Marsomba tu Hula-Hula.
“Hula-Hula” adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Marsomba tu hula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya.
     
ii.      Elek marboru.
Boru adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru gultom adalah anak perempuan dari marga Gultom. Dalam arti luas, istilah boru ini bukan berarti anak perempuan dari satu keluarga saja, tetapi dari marga tersebut. Elek marboru artinya harus dapat merangkul boru.Hal ini melambangkan kedudukan seorang wanita didalam lingkungan marganya.

iii.    Manat mardongan tubu.
Dongan Tubu adalah saudara-saudara semarga. Manat Mardongan Tubu melambangkan hubungan dengan saudara-saudara semarga.

4.      Partuturan
Partuturan adalah sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak. Partuturan ini menunjukkan penghormatan kepada seseorang.
Suku Karo mengenal Tutur siwaluh, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
a.      Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
b.      Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada seseorang, terbagi menjadi
-       kalimbubu simada dareh
-       Kalimbubu iperdemui
c.       Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
d.      Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
e.      Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak sibaribanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
f.        Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
g.      Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:
h.      anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
i.        Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
j.        Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri       yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai       petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam       upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri.       Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Subsuku Batak Toba menjunjung tinggi nilai-nilai partuturannya, yaitu:
1.      Dalam keluarga satu generasi
a)         Amang/Among : bapak kandung
b)         Amangtua: abang kandung bapak kita, maupun par-abangon bapak dari dongan sabutuha, parparibanon. Namun kita bisa juga memanggil ‘Amang’ saja
c)         Amanguda: adik dari bapak kita, maupun par-adekon bapak dari dongan sabutuha, parparibanon. Namun bisa juga kita cukup memanggilnya dengan sebutan “Amang’ atau ‘Uda’
d)         Haha/Angkang: abang kandung kita, dan semua par-abangon baik dari amangtua, dari marga
e)         Anggi: adik kandung kita, maupun seluruh putera amanguda, dan semua laki-laki yang marganya lebih muda dari marga kita dalam tarombo. Untuk perempuan yang kita cintai, kita juga bisa memanggilnya dengan sebutan ini atau bisa juga ‘Anggia’
f)          Hahadoli atau ‘Angkangdoli’, ditujukan kepada semua laki-laki keturunan dari ompu yang tumodohon (mem-per-adik kan) ompung kita
g)         Anggidoli: semua laki-laki yang merupakan keturunan dari ompu yang ditinodohon (diperadikkan) ompung kita, sampai kepada tujuh generasi sebelumnya. Uniknya, dalam acara ritual adat, panggilan ini bisa langsung digunakan.
h)         Ompung: kakek kandung kita. Sederhananya, semua orang yang kita panggil dengan sebutan ‘Amang’, maka bapak-bapak mereka adalah ‘Ompung’ kita. Ompung juga merupakan panggilan untuk datu/dukun, tabib/Namalo.
i)           Amang mangulahi: bapak dari ompung kita. Kita memanggilnya ‘Amang’
j)           Ompung mangulahi: ompung dari ompung kita
k)         Inang/Inong: ibu kandung kita
l)           Inangtua: isteri dari semua bapatua/amangtua
m)      Inanguda : kepada isteri dari semua bapauda/amanguda
n)         Angkangboru: perempuan yang posisinya sama seperti ‘angkang’
o)         Anggiboru: adik kandung. Kita memanggilnya dengan sebutan ‘Inang’

2.      Dalam hubungan par-hulahula on
a)      Simatua doli: bapak, bapatua, dan bapauda dari isteri kita. Kita memangilnya dengan sebutan ‘Amang’
b)      Simatua boru: ibu, inangtua, dan inanguda dari isteri kita. Kita cukup memangilnya ‘Inang’
c)      Tunggane disebut juga ‘Lae’, yakni kepada semua ito dari isteri kita
d)      Tulang na poso: putera tunggane kita, dan cukup dipangil ‘Tulang’
e)      Nantulang na poso: puteri tunggane kita, cukup dipanggil ‘Nantulang’
f)       Tulang: ito ibu kita
g)      Nantulang: isteri tulang kita
h)      Ompung bao: orangtua ibu kita, cukup dipanggil ‘Ompung’
i)        Tulang rorobot: tulang ibu kita dan tulang isteri mereka, juga kepada semua hulahula dari hulahula kita (amangoi…borat na i )
j)        Bonatulang/Bonahula: hulahula dari yang kita panggil ‘Ompung’
k)      Bona ni ari:  hulahula dari ompung dari semua yang kita panggil ‘Amang’, dan generasi di atasnya

3.      Dalam hubungan par-boru on
a)      Hela: laki-laki yang menikahi puteri kita, juga kepada semua laki-laki yang menikahi puteri dari abang/adik kita. Kita memanggilnya ‘Amanghela’
b)      Lae: amang, amangtua, dan amanguda dari hela kita. Juga kepada laki-laki yang menikahi ito kandung kita
c)      Ito: inang, inangtua, dan inanguda dari hela kita
d)      Amangboru: laki-laki ( juga abang/adik nya) yang menikahi ito bapak kita
e)      Namboru: isteri amangboru kita
f)       Lae:  putera dari amangboru kita
g)      Ito :  puteri dari amangboru kita
h)      Lae: bapak dari amangboru kita
i)        Ito: ibu/inang dari amangboru kita
j)        Bere: abang/adik juga ito dari hela kita
k)      Bere: putera dan puteri dari ito kita
l)        Bere: ito dari amangboru kita

2.      Sistem Kemasyarakatan
a.   Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial masyarakat Batak didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
1)         Perbedaan tingkat umur
2)         Perbedaan pangkat dan jabatan
3)         Perbedaan sifat keaslian
Stratifikasi sosial berdasarkan atas perbedaan tingkat umur tampak dalam perbedaan hak dan kewajiban, terutama dalam upacara adat dan penerimaan harta warisan. Tingkatan ini adalah anak-anak dan pemuda (danak-danak), orang setengah usia (Kalak singuda), dan orang tua (tua-tua).
Startifikasi sosial berdasarkan pangkat dan jabatan tampak dalam kehidupan sosial sehari-hari. Lapisan tertinggi dalam stratifikasi ini adalah lapisan bangsawan yang merupakan keturunan raja-raja dan kepala-kepala wilayah dulu. Lapisan ini disebut biak raja. Lapisan dibawahnya adalah lapisan ginemgem (karo). Jabatan yang paling terhormat dalam masyarakat Batak adalah dukun, tukang yang punya keahlian khusus (pandai besi, pandai emas, tukang kayu, dan sebagainya), pemukul alat bunyi-bunyian dan penyanyi. Orang-orang yang memiliki pekerjaan tersebut disebut si erjabaten di dalam kalangan orang Karo.
Stratifikasi sosial yang berdasarkan sifat keaslian tampak dalam perbedaan antara orang merga taneh dan keturunan dari penduduk kuta. Para merga taneh memilki hak prioritas utama kalau terjadi perebutan tanah dan sebagainya dan juga dalam hak menempati jabatan, sehingga terlihat diskriminasi yang jelas antara merga taneh dan orang-orang lain yang bukan merga taneh.
b.   Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam masyarakat Batak Karo dibagi menurut tiga bidang yaitu, adat, pemerintahan, dan keagamaan.
Kepemimpinan dalam bidang adat tidak berada dalam tangan seorang tokoh, namun berupa suatu musyawarah yang disebut sangkep sitelu yang didalamnya terdapat tiga kelompok kerabat yaitu kerabat sendiri, kelompok pemberi gadis, dan kelompok penerima gadis. Musyawarah ini dipimpin oleh anak-beru-tua-jabu.
Kepemimpinan dalam bidang pemerintahan dipegang oleh salah seorang dari turunan tertua dari merga taneh. Kepala kuta disebut pengulu, kepala urung disebut raja urung dan sibayak untuk bagian kerajaan. Kedudukan-kedudukan ini bersifat turun-temurun dan yang berhak adalah anak laki-laki tertua (sintua) atau bungsu (singuda). Selain menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala dalam pemerintahan juga melaksanakan tugas peradilan. Pengadilan tertinggi dalam masyarakat Batak disebut bale raja berompat yang merupakan sidang dari kelima sibayak yang ada di tanah Karo.
      Kepemimpinan keagamaan asli seperti pendeta atau ulama tidak ditemukan dalam Batak Karo. Hal ini mungkin karena kekuatan-kekuatan gaib dalam konsepsi orang Batak Karo berbeda-beda menurut jabu dan kepentingan jabu. Kepemimpinan dalam bidang ini menyangkut aspek-aspek ilmu dukun dan hubungan dengan dunia mati, terutama roh nenek moyang. Dalam ilmu dukun bertindak sebagai dukun guru sibaso. Jabatan ini tidak diterima secara turun-temurun, seseorang menjadi seorang guru sibaso jika mendapat “ilham” dan terdapat ciri-ciri yang menunjukkan bahwa ia berbakat menjadi seorang guru sibaso seperti, mendapat pengalaman kesurupan (selukan), biasa bicara dengan bahasa kerongkongan dan dapat melihat roh nenek moyang.
Di Kabupaten Samosir dikenal tiga kelompok utama komponen pembangun, yakni jajaran Pemerintah, kelompok Agama dan kelompok Adat tradisional. Pemetaan ini harus memperkenalkan kerangka tatanan Adat agar dapat berlangsung mantap dan lestari.

a)      Fungsi Jajaran Pemerintah
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam tata kemasyarakatan dan bernegara sekarang, motor dan penggerak pembangunan adalah Pemerintah. Pemerintah menyandang fasilitas administratif, personil dan modal, yang sangat menentukan, mengatasi kemampuan perorangan warga ataupun kelompok. Kepemimpinan Pemerintah dalam mengatur masyarakat dan kemajuan kesejahteraan rakyat sangatlah menonjol.
Pertanyaannya bagaimana memetakannya dalam tatanan Adat yang mapan. Kemantapan dan kelestarian pembangunan yang berkesinambungan sangat ditentukan oleh kejelian penempatan posisi dan peranannya dalam stelsel Adat kemasyarakatan.
Fungsi jajaran Pemerintah dapat dipetakan dalam beberapa titel fungsi dan peranan, yaitu:
Pertama, Pemerintah patut ditempatkan sebagai Raja Huta. Raja Huta selalu menyandang kuasa eksekutif tertinggi. Baik dalam menentukan membuka tali air, memulai enterprise baru, bahkan menentukan perang antar kampong. Raja Huta senantiasa menyandang kuasa eksekutif tertinggi. Ini sangat cocok dengan peranan superior dari Pemerintah bagi kemajuan masyarakat wilayah.
Kedua, dia harus mahir dan proaktif dalam masalah pembangunan, dengan kemampuan engeneering dan kepemimpinan yang tangguh, komunikatif dan, persuasif yang tinggi. Kehadiran dan kepemimpinannya harus sanggup menggugah dan menggerakkan orang-orang loyo dan kurang bersemangat. Dia adalah pamuro yang tanpa panah, tetapi kerajinannya mengunjungi serta meninjau rakyatnya sembari menyemangati adalah sarana yang sangbt efektif. Bagi rakyat yang putus asa, sebagai pangalualuan ni na bile, dia harus menjadi pendukung dan penghibur yang berbakat.
Ketiga ialah tuntutan bakat visioner untuk melihat ke.depan, sehingga tindakan-tindakan antisipatif menjadi bagian dari kehandalannya. Hal ini berhubungan dengan hubungan yang efektif-harmonis dengan garis-garis. Hubungan kerja pemerintahan, vertikal atau horizontal. Harapan kita ialah agar Pemerintah mernprakarsai suatu gerakan -pembangunan rumah dan bangunan lainnya dari Pemerintah dan penduduk bergaya tradisional. Dengan demikian; identitas gaya dan budaya langsung terungkap yang sangat menarik bagi wisatawan. domestik dan mancanegara. Tetapi gaya dan langgam bangunan tradisional ini pantas dikreasi baru agar praktis dan menarik. Gambar bangunannya pantas disediakan oleh Pemerintah.
b)      Kelompok Agama
Dalam tatanan Adat-kemasyarakatan, kelompok agama lebih tepat disejajarkan dengan kelompok Parmalim. Parmalim ini mengasyikkan diri pada ajarah agama dan etika kernasyarakatan. Secara lebih berkebajikan, ia menyandang tata hidup yang lebih suci, man of God, dan menyandang keutamaan yang terhormat.
Tetapi kelompok agama sekarang juga adalah agen-agen pembangunan yang handal: pendidikan; kesehatan, kebudayaan, dan peiayanan diakonia. Karena itu, bingkai Parmalim saja; tidak memadai. Dia harus diperluas kepada fungsi Parbaringin, yakni fungsi eksekusi profesi khas untuk kemajuan masyarakat.
Dalam pilihan primadonna pembangunan adalah soft tourism, seperti di Kabupaten Samosir, maka pemahaman yang diharapkan disandang oleh tokoh agama adalah menyangkut tiga masa.
Untuk masa lalu, tokoh agama diharapkan bukan saja mengetahui sejarah semantik ajaran agamanya, tetapi juga mengenai asal-usul dan mitologi Batak, tata adat yang lebih mendasar, pemahaman budaya Batak yang lebih luas dan pemahaman ketatanegaraan dan ideologi bangsa yang berlaku mapan.
Sedangkan untuk masa kini, ia bukan saja menjadi pemangku prinsip “berjiwakan Yesus Kristus dan berbajukan budaya Batak”, tetapi ia juga harus mampu menjadi implementer dari keduanya secara jitu dan up to date. Misalnya dalam bidang budaya dan Adat Batak, ia harus mampu menerjemahkannya sedemikian rupa sehingga menjadi unsur pengungkit kemajuan bagi pariwisata. Celaka akan timbul bila tokoh agama menjadi bodoh atau bahkan penghalang bagi budaya dan Adat setempat. Sebab soft tourism sangat bergantung pada kemampuannya menerjemahkan dan mengaplikasikan secara etis dan entrepreneur-ship bagi kemajuan kesejahteraan masyarakat.
Dilihat ke masa depan, peranan tokoh agama hendaknya sigap mengadakan aggiomamento (pembacaan tanda-tanda zaman). Hal ini berlaku buat bidang keagamaan, seperti ethos dan perayaan liturgi yang up to date. Pada bidang ajaran sosial harus sanggup menangkap arus dan arah kemajuan zaman. Termasuk pendidikan haruslah bersifat inovatif dan renovatif sehingga sanggup menjawab kebutuhan zaman. Sekolah yang bertaraf internasiona! dan serentak patriotik adalah kebutuhan.
c)       Kelompok Adat
Profesi masyarakat Adat adalah bidang Adat dan kebudayaan Batak. Justru karena stelsel Dalihan Natolu sangat handal dalam pengembangan demokrasi, maka perhatian untuk penajaman dan pembaharuan bidang ini pantas dipertegas. Penyederhanaan dan penajaman kiranya sangat didambakan.
Kelompok ini harus menemukan formula yang handal bagi menjawab keluhan bahwa pelaksanaan Adat terlalu berteletele dan boros waktu. Juga konsumtisme Adat pantas lebih diperlincah dan diperramping.
Masyarakat Adat di Kabupaten Samosir sekarang ini sangat ditantang dalam hal kepemilikan tanah. Tantangan itu datang dan kaidah pengembangan kesejahteraan bidang ekonomi, seperti dilansir oleh tokoh pemenang Hadiah Nobel, Mohammad Junus, dan temannya Desoto dari Amerika Latin. Tantangan dasarnya adalah bagaimana mengubah lahan tidur menjadi lahan produktif atau enterprise ekonomi.

D.    Produk Budaya
Kebudayaan Batak merupakan seluruh nilai-nilai kehidupan suku bangsa Batak yang diwariskan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya.
 Tata nilai kehidupan suku Batak di dalam proses pengembangannya merupakan pengolahan tingkat daya dan perkembangan daya dalam satu sistem komunikasi meliputi:
a. Sikap Mental (Hadirion)
Sikap mental ini tercermin dari pepatah : babiat di harbangan, gompul di alaman. Anak sipajoloon nara tu jolo.
b. Nilai Kehidupan (Ruhut-ruhut Ni Parngoluon)
Pantun marpangkuling bangko ni anak na bisuk. Donda marpangalaho bangkoni boru na uli. (pantun hangoluan tois hamagoan).

 Adapun produk budayanya adalah:
1.      Cara Berpikir (Paningaon)
Raja di jolo sipatudu dalan hangoluan.
Raja di tonga pangahut pangatua, pangimpal, pangimbalo (pemersatu).
Raja di pudi siapul natangis sielek na mardandi

2.      Cara Bekerja (Parulan)
Mangula sibahen namangan.
Maragat bahen siinumon

3.      Logika (Ruhut, Raska, Risa)
Aut so ugari boru Napitupulu na tumubuhon au, dang martulang au tu Napitupulu

4.      Etika (Paradaton)
                  Tinintip sanggar bahen huru-huruan
                  Nisungkun marga asa binoto partuturon

5.      Estetika (panimbangion)
Hatian sora monggal ninggala sibola tali
Budaya Batak mencerminkan nilai-nilai peradaban yang tinggi sehingga suku bangsa Batak mengakui Tuhan Maha Pencipta sebagai orientasi spritualnya.
Suku bangsa yang tidak mempunyai budaya adalah suku bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan disebut biadab.

6.      Rumah Adat
psm03tob

  Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi.
Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu.
Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan.
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Ada juga lukisan-lukisan khas dan unik yang disebut gorga. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.
Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng (dulunya dari ijuk).

7.       Gondang
Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata “gondang”:
1.   Satu jenis musik tradisi Batak toba;
2.   Komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tsb. (misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo)
3.   Alat musik “kendang”. Ada 2 ansambel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah; dan gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.

Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup-“obo”), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tsb), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.
Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa ditemukan di Jaw, India, Cina, dsb. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci dan punya peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama (tapi tidak persis) dengan tangga nada yang dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik, sejauh ini tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik gamelan yang ditemukan di Jawa dan Bali, sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompik dan daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.
Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. Pola irama gondang disebut doal, dan dalam konsepsinya mirip siklus gongan yang ditemukan dimusik gamelan dari Jawa dan Bali, tetapi irama siklus doal lebih singkat.
Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari Cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).
Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen
8.      Ulos
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos pengihot ni holong, yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang di antara sesama. Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah  dari terpaan udara dingin. Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 sumber kehangatan : matahari,api,ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.
 Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangkan badan, tetapi kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, artinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu.
               Dalam pengertian adat Batak "mangulosi" (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.