A. Identifikasi
1.
Sejarah Batak
Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak
dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu
menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah
Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari
India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di
pinggir Danau Toba. Diperkirakan Si Raja
Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII
salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907),
maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.
Batu bertulis (prasasti) di Portibi
bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari
Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India
menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus. Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah
Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di
sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun tahun dan
kejadian di atas diperkirakan, Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan
dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi)
atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi
konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. Akibat serangan Mojopahit ke
Sriwijaya,Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di
Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).
Sebutan Raja kepada Si Raja Batak
diberikan oleh keturunannya karena
penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan
Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dan sebagainya. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.
Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada tiga orang yaitu : GURU TETEA BULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari
ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-marga Batak.
2.
Subsuku Batak
Dalam
buku ANEKA RAGAM BUDAYA BATAK [Seri Dolok Pusuk Buhit-10] terbitan YAYASAN
BINABUDAYA NUSANTARA TAOTOBA NUSABUDAYA, 2000 hal 31, menyebutkan bahwa etnis
Batak sesungguhnya
ada sebelas, yaitu:
- Batak Toba (Tapanuli)
- Batak Simalungun
- Batak Karo
- Batak Mandailing
- Batak Pakpak
- Batak Pasisir
- Batak Angkola
- Batak Padanglawas
- Batak Melayu
- Batak Nias
- Batak Alas Gayo
3.
Wilayah Bermukim
Dalam tata
pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata pemerintahan Kolonial
Belanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah
menjadi Kabupaten setelah Indonesia merdeka.
Subsuku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya
meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta
Sarulla. Empat tahun terakhir ini, Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah
dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara (ibukota
Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten Samosir (ibukota
Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong), Kabupaten Humbang
Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul).
Sub suku Batak
Simalungun mayoritas bermukim di wilayah Kabupaten Simalungun (ibukota Pematang
Siantar) namun dalam jumlah yang lebih kecil juga bermukim di kabupaten Serdang
Bedagai dan Kabupaten Asahan.
Subsuku Batak Karo mayoritas berdiam di Kabupaten Karo dengan ibukota
Kabanjahe, namun sebagian juga tersebar di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang.
Mereka yang bermukim di wilayah Kabupaten Karo kerap disebut sebagai Karo
Gunung, sementara yang di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang kerap disebut
dengan Karo Langkat.
Subsuku Batak Mandailing dan Angkola bermukim di wilayah Kabupaten
Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) dan Kabupaten Mandailing Natal
(sering disingkat dengan Madina dengan ibukota Penyabungan). Kabupaten ini
berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapsel.
Subsuku Batak Pakpak terdiri atas 5 sub Pakpak yaitu Pakpak Kelasen,
Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Pegagan, bermukim di wilayah Kabupaten
Dairi yang kemudian dimekarkan pada tahun 2004 menjadi dua kabupaten yakni:
Kabupaten Dairi (ibukota Sidikalang)dan Kabupaten Pakpak Bharat (ibukota
Salak). Suku Batak Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk
wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan
bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.Suku Pakpak yang tinggal diwalayah
tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Kelasan. Dalam jumlah yang sedikit, suku
Pakpak juga bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Subsuku Batak Pasisir mendiami wilayah Pantai Barat
antara Natal dan Singkil.
Subsuku Batak Padang
Lawas mendiami wilayah Sibuhuan, A.Godang, Rambe,Harahap.
Subsuku Batak Melayu
mendiami Wilayah Pesisir Timur Melayu.
Subsuku Batak Nias
mendiami Pulau Nias.
Subsuku Batak Alas
bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Populasi mereka meningkat pasca Perang Aceh dimana pada masa perlawanan
terhadap kekuasaan kolonial Belanda, suku Batak Toba selalu mengirimkan bala
bantuan. Setelah perang usai, mereka banyak yang bermukim di wilayah Aceh
Tenggara.
B. Mata Pencaharian
Topografi Sumatera Utara terkenal dengan daerah
pegunungan dan daerah ini merupakan hasil letusan gunung berapi terbesar di
dunia yang meletus pada ribuan tahun lalu. Hal tersebut menjadikan wilayah ini
menjadi sangat subur dan cocok untuk daerah pertanian. Oleh karena itu,
masyarakat Batak pada umumnya memiliki mata pencaharian dari bertani.
Persentasi mata pencaharian per kabupaten:
Kabupaten/Kota
|
Pertanian
|
Industri
|
J a s a
|
Jumlah
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
Kabupaten
|
||||
1. N i a s
|
89,97
|
2,30
|
7,73
|
100,00
|
2. Mandailing Natal
|
78,48
|
5,05
|
16,47
|
100,00
|
3. Tapanuli Selatan
|
87,89
|
1,22
|
10,89
|
100,00
|
4. Tapanuli Tengah
|
68,56
|
5,87
|
25,57
|
100,00
|
5. Tapanuli Utara
|
82,30
|
2,27
|
15,43
|
100,00
|
6. Toba Samosir
|
85,95
|
0,85
|
13,20
|
100,00
|
7. Labuhan Batu
|
73,21
|
3,23
|
23,56
|
100,00
|
8. A s a h a n
|
51,33
|
13,88
|
34,79
|
100,00
|
9. Simalungun
|
62,10
|
9,74
|
28,16
|
100,00
|
10. D a i r i
|
83,50
|
1,33
|
15,17
|
100,00
|
11 .K a r o
|
80,63
|
1,40
|
17,97
|
100,00
|
12. Deli Serdang
|
27,16
|
29,17
|
43,67
|
100,00
|
13. L a n g k a t
|
61,68
|
13,66
|
24,66
|
100,00
|
Kota
|
||||
71. S i b o l g a
|
26,94
|
10,07
|
62,99
|
100,00
|
72. Tanjung Balai
|
22,65
|
12,88
|
64,47
|
100,00
|
73. Pematang Siantar
|
3,41
|
16,02
|
80,57
|
100,00
|
74. Tebing Tinggi
|
3,41
|
19,71
|
76,88
|
100,00
|
75. M e d a n
|
3,86
|
23,40
|
72,74
|
100,00
|
76. B i n j a i
|
13,01
|
22,80
|
64,19
|
100,00
|
77. P.Sidempuan
|
18,73
|
13,35
|
67,92
|
100,00
|
Sumatera Utara
|
51,60
|
13,05
|
35,35
|
100,00
|
Sumber
: BPS-Survey Sosial Ekonomi Nasional 2004
Pada subsuku Batak Simalungun dikenal istilah marjuma,
yaitu berladang dengan cara menebas hutan belukar (mangimas) yang mengolahnya
untuk tanaman palawija seperti padi, jagung, ubi. Selain itu ada juga yang
mengolah persawahan (sabah) seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon
dengan luas yang relatif sedikit dengan cara-cara tradisional. Pada sistem
bercocok tanam di ladang, Huta/Kuta-lah yang memegang hak ulayat
tanah dan hanya warga Huta/Kuta tersebut yang berhak memakainya, mereka dapat
menggarapnya tapi tidak dapat menjualnya tanpa persetujuan Huta.
Selain tanah Ulayat terdapat juga tanah individual
yang terbagi atas:
a.
Tanah Panjaean,
yaitu tanah yang diberikan kepada seorang laki-laki oleh orang tuanya setelah
ia kawin sebagai modal usahanya dalam mencari nafkah.
b.
Tanah Pausean,
yaitu tanah yang diterima oleh seorang anak perempuan dari orang tuanya pada
hari pernikahannya.
c.
Tanah Parbagian,
yaitu tanah yang diwarisi oleh seorang anak laki-laki dari orang tuanya yang
telah meninggal.
Perluasan tanah individual selain dengan cara-cara
diatas dapat pula dengan cara mangarimba atau membuka sendiri tanah baru yang
belum berada dibawah hak ulayat Huta/Kuta-nya.
Pada umumnya, panen padi berlangsung setahun sekali
namun di beberapa tempat panen berlangsung 2-3 kali setahun (marsitatolo).
Dalam bercocok tanam baik di sawah maupun di ladang, seorang perempuan batak
bertugas dalam tahap-tahap menanam, menyiangi, dan menuai, sedangkan kaum
laki-laki Batak mengerjakan tahap-tahap seperti membersihkan belukar hutan,
menebang pohon, membakar hutan, menyiapkan saluran-saluran dan
pematang-pematang irigasi, membajak, menggaru dan sebagainya. Orang batak
mengenal system gotong royong dalam bercocok tanam yang disebut Raron dalam
bahasa Karo atau marsiurupan dalam bahasa toba. Alat yang digunakan dalam
bercocok tanam adalah cangkul, bajak, dan tongkat tugal. Bajak biasanya ditarik
oleh kerbau atau sapi. Sabit dipakai untuk memotong padi tetapi ada juga yang
memakai ani-ani.
Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata
pencaharian penting pada orang batak. Misalnya memelihara kerbau, sapi, babi,
kambing, ayam dan bebek. Kerbau juga dibutuhkan untuk menarik bajak di sawah sedangkan
babi selain dimakan juga sebagai pelengkap upacara adat.
Di daerah tepi danau toba dan di pulau samosir,
pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara intensif dengan perahu (solu), hasil
tangkapannya lalu dijual di kota-kota sekitarnya.
Untuk
memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian (hiou) yang biasanya
dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama
dengan para pemuda di losung huta. Di sini biasanya, pada zaman dahulu para
pemuda itu akan memilih pasangannya.
C. Sistem Kekerabatan dan Kemasyarakatan
1.
Sistem Kekerabatan
Kelompok kekerabatan
orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar
satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan
berdasarkan satu ayah disebut sada bapa atau sada nini pada orang Batak Karo,
atau saompu atau saama pada orang Batak Toba.
Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih
atau keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya, yang disebut
jabu (bahasa Karo) atau ripe (bahasa Toba). Meskipun demikian, istilah jabu atau
ripe juga sering dipakai untuk suatu keluarga luas yang virilokal (tinggal di
tempat keluarga pihak laki-laki), karena banyak orang Batak muda yang sudah
kawin tetap tinggal bersama dalam satu rumah dengan orangtuanya.
Orang Batak mengenal klen kecil dan klen besar. Klen
kecil adalah kelompok kekerabatan patrilineal sada nini atau saompu, sedangkan
klen besar adalah kelompok kekerabatan patrilineal satu nenek moyang hingga
generasi ke-20. Istilah lainnya adalah satu merga (Karo) atau marga (Toba).
Perlu kita ketahui, pada orang Batak Karo marga berupa
nama kolektif sedangkan marga pada orang Batak Toba menunjukkan nama dan nenek
moyang asal. Misalnya: Perangin-angin Bangun bukan berarti bahwa dulunya nama
nenek moyangnya adalah Bangun anak dari Perangin-angin. Sebaliknya, Silo
Siregar berarti bahwa nenek moyangnya bernama Silo anak dari Siregar.
Dalam kehidupan masyarakat Batak ada suatu hubungan
kekerabatan yang mantap. Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok
kerabat seseorang, antara kelompok kerabat tempat isterinya berasal dengan
kelompok kerabat suami saudara perempuannya. Masing-masing kelompok mempunyai
nama, yaitu:
- Kelompok pertama: hula-hula atau kalibumbu, orangtua dari pihak isteri, atau kelompok pemberi gadis,
- Kelompok kedua: anak boru atau anak beru, suami dan saudara (hahaangi) perempuan, kalompok penerima gadis,
- Kelompok ketiga: dongan tobu atau senina, saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan patrilineal, atau kelompoknya sendiri.
Hubungan antara ketiga kelompok tersebut disebut
sangkep sitelu (dalihan na tolu dalam bahasa Toba). Hubungan tersebut tampak
jelas dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, kematian, penyelesaian
pertikaian, dan sebagainya.
Kalibumbu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
terhadap anak boru dan bagi seorang Batak, kaum kerabat isterinya itu merupakan
debata ni idah (dewa-dewa yang tampak). Sebagai anak boru, ia harus berusaha
supaya kaum kerabat isterinya itu diperlakukan secara terhormat.
Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui dari system kekerabatan
suku Batak, yaitu:
1.
Marga
Marga
adalah
kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem
kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak
laki laki. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak
laki laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling
mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.
Menurut buku "Leluhur Marga-Marga Batak",
jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
Beberapa
contoh marga dalam suku Batak:
a.
Marga Batak
Karo
1.
Karo-karo
2.
Tarigan
3.
Ginting
4.
Sembiring
5.
Perangin-angin
b.
Marga Batak Toba
1.
Sitomorang
2.
Sinaga
3.
Pandiangan
4.
Nainggolan
5.
Simatupang
6.
Aritonang
7.
Siregar
8.
Nai Ambaton
9.
Nai rasaon
10.
Lubis
11.
Pulungan
12.
Tanjung
13.
Harahap
14.
Sipahutar, dll
c.
Marga Batak Simalungun
1.
Purba
2.
Saragih
3.
Damanik
4.
Sinaga dan
Sipajung
2.
Tarombo
Tarombo adalah silsilah, asal usul
menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo
seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan
pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut
dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling "mardongan
sabutuha" (semarga) dengan panggilan "ampara" atau
"marhula-hula" dengan panggilan "lae/tulang". Dengan
tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru"
(adik perempuan ayah/bibi),"Amangboru/Makela",(suami dari adik
ayah/Om)”Bapatua/ Amanganggi/ Amanguda ”(abang/adik ayah), Ito/ boto” (kakak/
adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki-laki ibu) yang dapat
kita jadikan istri, dan seterusnya.
3.
Dalihan
Natolu
Salah
satu contoh adat istiadat batak adalah “Dalihan Natolu”. “Dalihan Natolu” ini
melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. “Dalihan Natolu”
yaitu:
i.
Marsomba tu Hula-Hula.
“Hula-Hula” adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh
seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara
dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula.
Marsomba tu hula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak
istrinya.
ii.
Elek marboru.
Boru adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru
gultom adalah anak perempuan dari marga Gultom. Dalam arti luas, istilah boru
ini bukan berarti anak perempuan dari satu keluarga saja, tetapi dari marga
tersebut. Elek marboru artinya harus dapat merangkul boru.Hal ini melambangkan
kedudukan seorang wanita didalam lingkungan marganya.
iii.
Manat mardongan tubu.
Dongan Tubu adalah saudara-saudara semarga. Manat Mardongan
Tubu melambangkan hubungan dengan saudara-saudara semarga.
4.
Partuturan
Partuturan adalah sistem kekerabatan
dalam kehidupan masyarakat Batak. Partuturan ini menunjukkan penghormatan
kepada seseorang.
Suku Karo mengenal Tutur siwaluh, yang
berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
a. Puang
kalimbubu adalah kalimbubu dari
kalimbubu seseorang
b.
Kalimbubu adalah
kelompok pemberi isteri kepada seseorang, terbagi menjadi
-
kalimbubu simada
dareh
-
Kalimbubu
iperdemui
c.
Senina, yaitu
mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
d.
Sembuyak,
secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya
adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam
masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga
juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
e. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara
kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak sibaribanen, yaitu orang-orang
yang mempunyai isteri yang bersaudara.
f.
Senina Sepengalon atau
Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri
dari beru yang sama.
g. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga
tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena
mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui
perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak
beru ini terdiri lagi atas:
h. anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga
generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak
beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara
adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat
dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai
pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin
keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
i.
Anak beru cekoh baka
tutup,
yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam
keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan
dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai
saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari
Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
j.
Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak
beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai
pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk,
mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak
beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini
mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Subsuku Batak Toba menjunjung tinggi nilai-nilai
partuturannya, yaitu:
1.
Dalam keluarga satu generasi
a)
Amang/Among :
bapak kandung
b)
Amangtua: abang
kandung bapak kita, maupun par-abangon bapak dari dongan sabutuha,
parparibanon. Namun kita bisa juga memanggil ‘Amang’ saja
c)
Amanguda: adik
dari bapak kita, maupun par-adekon bapak dari dongan sabutuha, parparibanon.
Namun bisa juga kita cukup memanggilnya dengan sebutan “Amang’ atau ‘Uda’
d)
Haha/Angkang: abang
kandung kita, dan semua par-abangon baik dari amangtua, dari marga
e)
Anggi: adik
kandung kita, maupun seluruh putera amanguda, dan semua laki-laki yang marganya
lebih muda dari marga kita dalam tarombo. Untuk perempuan yang kita cintai,
kita juga bisa memanggilnya dengan sebutan ini atau bisa juga ‘Anggia’
f)
Hahadoli atau
‘Angkangdoli’, ditujukan kepada semua laki-laki keturunan dari ompu yang
tumodohon (mem-per-adik kan) ompung kita
g)
Anggidoli: semua
laki-laki yang merupakan keturunan dari ompu yang ditinodohon (diperadikkan)
ompung kita, sampai kepada tujuh generasi sebelumnya. Uniknya, dalam acara
ritual adat, panggilan ini bisa langsung digunakan.
h)
Ompung: kakek
kandung kita. Sederhananya, semua orang yang kita panggil dengan sebutan
‘Amang’, maka bapak-bapak mereka adalah ‘Ompung’ kita. Ompung juga merupakan panggilan untuk datu/dukun,
tabib/Namalo.
i)
Amang mangulahi:
bapak dari ompung kita. Kita memanggilnya ‘Amang’
j)
Ompung mangulahi:
ompung dari ompung kita
k)
Inang/Inong: ibu
kandung kita
l)
Inangtua: isteri
dari semua bapatua/amangtua
m)
Inanguda : kepada
isteri dari semua bapauda/amanguda
n)
Angkangboru: perempuan
yang posisinya sama seperti ‘angkang’
o)
Anggiboru: adik
kandung. Kita memanggilnya dengan sebutan ‘Inang’
2.
Dalam hubungan par-hulahula on
a)
Simatua doli: bapak,
bapatua, dan bapauda dari isteri kita. Kita memangilnya dengan sebutan ‘Amang’
b)
Simatua boru: ibu,
inangtua, dan inanguda dari isteri kita. Kita cukup memangilnya ‘Inang’
c)
Tunggane disebut
juga ‘Lae’, yakni kepada semua ito dari isteri kita
d)
Tulang na poso: putera
tunggane kita, dan cukup dipangil ‘Tulang’
e)
Nantulang na poso:
puteri tunggane kita, cukup dipanggil ‘Nantulang’
f)
Tulang: ito ibu
kita
g)
Nantulang: isteri
tulang kita
h)
Ompung bao: orangtua
ibu kita, cukup dipanggil ‘Ompung’
i)
Tulang rorobot: tulang
ibu kita dan tulang isteri mereka, juga kepada semua hulahula dari hulahula
kita (amangoi…borat na i )
j)
Bonatulang/Bonahula:
hulahula dari yang kita panggil ‘Ompung’
k)
Bona ni ari: hulahula dari ompung dari semua yang kita
panggil ‘Amang’, dan generasi di atasnya
3.
Dalam hubungan par-boru on
a)
Hela: laki-laki
yang menikahi puteri kita, juga kepada semua laki-laki yang menikahi puteri
dari abang/adik kita. Kita memanggilnya ‘Amanghela’
b)
Lae: amang,
amangtua, dan amanguda dari hela kita. Juga kepada laki-laki yang menikahi ito
kandung kita
c)
Ito: inang,
inangtua, dan inanguda dari hela kita
d)
Amangboru: laki-laki
( juga abang/adik nya) yang menikahi ito bapak kita
e)
Namboru: isteri
amangboru kita
f)
Lae: putera dari amangboru kita
g)
Ito : puteri dari amangboru kita
h)
Lae: bapak dari
amangboru kita
i)
Ito: ibu/inang
dari amangboru kita
j)
Bere: abang/adik
juga ito dari hela kita
k)
Bere: putera dan
puteri dari ito kita
l)
Bere: ito dari
amangboru kita
2. Sistem Kemasyarakatan
a. Stratifikasi
Sosial
Stratifikasi
sosial masyarakat Batak didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
1)
Perbedaan tingkat
umur
2)
Perbedaan pangkat
dan jabatan
3)
Perbedaan sifat
keaslian
Stratifikasi sosial berdasarkan atas
perbedaan tingkat umur tampak dalam perbedaan hak dan kewajiban, terutama dalam
upacara adat dan penerimaan harta warisan. Tingkatan ini adalah anak-anak dan
pemuda (danak-danak), orang setengah
usia (Kalak singuda), dan orang tua (tua-tua).
Startifikasi
sosial berdasarkan pangkat dan jabatan tampak dalam kehidupan sosial
sehari-hari. Lapisan tertinggi dalam stratifikasi ini adalah lapisan bangsawan
yang merupakan keturunan raja-raja dan kepala-kepala wilayah dulu. Lapisan ini disebut biak raja. Lapisan dibawahnya adalah lapisan ginemgem (karo). Jabatan yang paling terhormat dalam masyarakat
Batak adalah dukun, tukang yang punya keahlian khusus (pandai besi, pandai
emas, tukang kayu, dan sebagainya), pemukul alat bunyi-bunyian dan penyanyi.
Orang-orang yang memiliki pekerjaan tersebut disebut si erjabaten di dalam kalangan orang Karo.
Stratifikasi sosial yang berdasarkan
sifat keaslian tampak dalam perbedaan antara orang merga taneh dan keturunan dari penduduk kuta. Para merga taneh
memilki hak prioritas utama kalau terjadi perebutan tanah dan sebagainya dan
juga dalam hak menempati jabatan, sehingga terlihat diskriminasi yang jelas
antara merga taneh dan orang-orang
lain yang bukan merga taneh.
b. Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam masyarakat Batak Karo
dibagi menurut tiga bidang yaitu, adat, pemerintahan, dan keagamaan.
Kepemimpinan dalam bidang adat tidak
berada dalam tangan seorang tokoh, namun berupa suatu musyawarah yang disebut sangkep sitelu yang didalamnya terdapat
tiga kelompok kerabat yaitu kerabat sendiri, kelompok pemberi gadis, dan
kelompok penerima gadis. Musyawarah ini dipimpin oleh anak-beru-tua-jabu.
Kepemimpinan dalam bidang pemerintahan
dipegang oleh salah seorang dari turunan tertua dari merga taneh. Kepala kuta disebut pengulu, kepala urung
disebut raja urung dan sibayak untuk bagian kerajaan.
Kedudukan-kedudukan ini bersifat turun-temurun dan yang berhak adalah anak
laki-laki tertua (sintua) atau bungsu
(singuda). Selain menjalankan
pemerintahan sehari-hari kepala dalam pemerintahan juga melaksanakan tugas
peradilan. Pengadilan tertinggi dalam masyarakat Batak disebut bale raja berompat yang merupakan sidang
dari kelima sibayak yang ada di tanah
Karo.
Kepemimpinan
keagamaan asli seperti pendeta atau ulama tidak ditemukan dalam Batak Karo. Hal
ini mungkin karena kekuatan-kekuatan gaib dalam konsepsi orang Batak Karo
berbeda-beda menurut jabu dan
kepentingan jabu. Kepemimpinan dalam
bidang ini menyangkut aspek-aspek ilmu dukun dan hubungan dengan dunia mati,
terutama roh nenek moyang. Dalam ilmu dukun bertindak sebagai dukun guru sibaso. Jabatan ini tidak diterima
secara turun-temurun, seseorang menjadi seorang guru sibaso jika mendapat “ilham” dan terdapat ciri-ciri yang
menunjukkan bahwa ia berbakat menjadi seorang guru sibaso seperti, mendapat pengalaman kesurupan (selukan), biasa bicara dengan bahasa
kerongkongan dan dapat melihat roh nenek moyang.
Di Kabupaten Samosir dikenal tiga
kelompok utama komponen pembangun, yakni jajaran Pemerintah, kelompok Agama dan
kelompok Adat tradisional. Pemetaan ini harus memperkenalkan kerangka tatanan
Adat agar dapat berlangsung mantap dan lestari.
a)
Fungsi Jajaran Pemerintah
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam tata kemasyarakatan dan bernegara
sekarang, motor dan penggerak pembangunan adalah Pemerintah. Pemerintah
menyandang fasilitas administratif, personil dan modal, yang sangat menentukan,
mengatasi kemampuan perorangan warga ataupun kelompok. Kepemimpinan Pemerintah
dalam mengatur masyarakat dan kemajuan kesejahteraan rakyat sangatlah menonjol.
Pertanyaannya bagaimana memetakannya dalam tatanan Adat yang mapan. Kemantapan
dan kelestarian pembangunan yang berkesinambungan sangat ditentukan oleh
kejelian penempatan posisi dan peranannya dalam stelsel Adat kemasyarakatan.
Fungsi jajaran Pemerintah dapat dipetakan dalam beberapa
titel fungsi dan peranan, yaitu:
Pertama, Pemerintah patut ditempatkan sebagai Raja Huta. Raja
Huta selalu menyandang kuasa eksekutif tertinggi. Baik dalam menentukan membuka
tali air, memulai enterprise baru, bahkan menentukan perang antar kampong. Raja
Huta senantiasa menyandang kuasa eksekutif tertinggi. Ini sangat cocok dengan
peranan superior dari Pemerintah bagi kemajuan masyarakat wilayah.
Kedua, dia harus mahir dan proaktif dalam
masalah pembangunan, dengan kemampuan engeneering dan kepemimpinan yang
tangguh, komunikatif dan, persuasif yang tinggi. Kehadiran dan kepemimpinannya
harus sanggup menggugah dan menggerakkan orang-orang loyo dan kurang
bersemangat. Dia adalah pamuro yang tanpa panah, tetapi kerajinannya
mengunjungi serta meninjau rakyatnya sembari menyemangati adalah sarana yang
sangbt efektif. Bagi rakyat yang putus asa, sebagai pangalualuan ni na bile,
dia harus menjadi pendukung dan penghibur yang berbakat.
Ketiga ialah tuntutan bakat visioner untuk
melihat ke.depan, sehingga tindakan-tindakan antisipatif menjadi bagian dari
kehandalannya. Hal ini berhubungan dengan hubungan yang efektif-harmonis dengan
garis-garis. Hubungan kerja pemerintahan, vertikal atau horizontal. Harapan
kita ialah agar Pemerintah mernprakarsai suatu gerakan -pembangunan rumah dan
bangunan lainnya dari Pemerintah dan penduduk bergaya tradisional. Dengan
demikian; identitas gaya dan budaya langsung terungkap yang sangat menarik bagi
wisatawan. domestik dan mancanegara. Tetapi gaya dan langgam bangunan
tradisional ini pantas dikreasi baru agar praktis dan menarik. Gambar bangunannya
pantas disediakan oleh Pemerintah.
b) Kelompok Agama
Dalam tatanan Adat-kemasyarakatan,
kelompok agama lebih tepat disejajarkan dengan kelompok Parmalim. Parmalim ini
mengasyikkan diri pada ajarah agama dan etika kernasyarakatan. Secara lebih berkebajikan,
ia menyandang tata hidup yang lebih suci, man of God, dan menyandang keutamaan
yang terhormat.
Tetapi kelompok agama sekarang juga
adalah agen-agen pembangunan yang handal: pendidikan; kesehatan, kebudayaan,
dan peiayanan diakonia. Karena itu, bingkai Parmalim saja; tidak memadai. Dia
harus diperluas kepada fungsi Parbaringin, yakni fungsi eksekusi profesi khas
untuk kemajuan masyarakat.
Dalam pilihan primadonna pembangunan
adalah soft tourism, seperti di Kabupaten Samosir, maka pemahaman yang diharapkan
disandang oleh tokoh agama adalah menyangkut tiga masa.
Untuk masa lalu, tokoh agama diharapkan
bukan saja mengetahui sejarah semantik ajaran agamanya, tetapi juga mengenai
asal-usul dan mitologi Batak, tata adat yang lebih mendasar, pemahaman budaya
Batak yang lebih luas dan pemahaman ketatanegaraan dan ideologi bangsa yang
berlaku mapan.
Sedangkan untuk masa kini, ia bukan
saja menjadi pemangku prinsip “berjiwakan Yesus Kristus dan berbajukan budaya
Batak”, tetapi ia juga harus mampu menjadi implementer dari keduanya secara
jitu dan up to date. Misalnya dalam bidang budaya dan Adat Batak, ia harus
mampu menerjemahkannya sedemikian rupa sehingga menjadi unsur pengungkit
kemajuan bagi pariwisata. Celaka akan timbul bila tokoh agama menjadi bodoh atau
bahkan penghalang bagi budaya dan Adat setempat. Sebab soft tourism sangat
bergantung pada kemampuannya menerjemahkan dan mengaplikasikan secara etis dan
entrepreneur-ship bagi kemajuan kesejahteraan masyarakat.
Dilihat ke masa depan, peranan tokoh
agama hendaknya sigap mengadakan aggiomamento (pembacaan tanda-tanda zaman).
Hal ini berlaku buat bidang keagamaan, seperti ethos dan perayaan liturgi yang
up to date. Pada bidang ajaran sosial harus sanggup menangkap arus dan arah
kemajuan zaman. Termasuk pendidikan haruslah bersifat inovatif dan renovatif
sehingga sanggup menjawab kebutuhan zaman. Sekolah yang bertaraf internasiona!
dan serentak patriotik adalah kebutuhan.
c) Kelompok Adat
Profesi masyarakat Adat adalah bidang
Adat dan kebudayaan Batak. Justru karena stelsel Dalihan Natolu sangat handal
dalam pengembangan demokrasi, maka perhatian untuk penajaman dan pembaharuan
bidang ini pantas dipertegas. Penyederhanaan dan penajaman kiranya sangat
didambakan.
Kelompok ini harus menemukan formula
yang handal bagi menjawab keluhan bahwa pelaksanaan Adat terlalu berteletele
dan boros waktu. Juga konsumtisme Adat pantas lebih diperlincah dan
diperramping.
Masyarakat Adat di Kabupaten Samosir
sekarang ini sangat ditantang dalam hal kepemilikan tanah. Tantangan itu datang
dan kaidah pengembangan kesejahteraan bidang ekonomi, seperti dilansir oleh
tokoh pemenang Hadiah Nobel, Mohammad Junus, dan temannya Desoto dari Amerika
Latin. Tantangan dasarnya adalah bagaimana mengubah lahan tidur menjadi lahan
produktif atau enterprise ekonomi.
D. Produk Budaya
Kebudayaan Batak merupakan seluruh nilai-nilai kehidupan
suku bangsa Batak yang diwariskan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi
faktor penentu sebagai identitasnya.
Tata nilai
kehidupan suku Batak di dalam proses pengembangannya merupakan pengolahan
tingkat daya dan perkembangan daya dalam satu sistem komunikasi meliputi:
a. Sikap Mental (Hadirion)
Sikap mental ini tercermin dari pepatah : babiat di harbangan, gompul di
alaman. Anak sipajoloon
nara tu jolo.
b. Nilai Kehidupan (Ruhut-ruhut Ni Parngoluon)
Pantun marpangkuling bangko ni anak na bisuk. Donda marpangalaho bangkoni boru na uli. (pantun
hangoluan tois hamagoan).
Adapun produk
budayanya adalah:
1.
Cara Berpikir (Paningaon)
Raja di jolo sipatudu dalan hangoluan.
Raja di tonga pangahut pangatua, pangimpal, pangimbalo
(pemersatu).
Raja di pudi siapul natangis sielek na mardandi
2.
Cara Bekerja (Parulan)
Mangula sibahen namangan.
Maragat bahen siinumon
3.
Logika (Ruhut, Raska, Risa)
Aut so ugari boru Napitupulu na tumubuhon au, dang
martulang au tu Napitupulu
4.
Etika (Paradaton)
Tinintip sanggar bahen
huru-huruan
Nisungkun marga asa binoto
partuturon
5.
Estetika (panimbangion)
Hatian sora monggal ninggala sibola tali
Budaya Batak mencerminkan nilai-nilai peradaban yang
tinggi sehingga suku bangsa Batak mengakui Tuhan Maha Pencipta sebagai
orientasi spritualnya.
Suku bangsa yang tidak mempunyai budaya adalah suku bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan disebut biadab.
Suku bangsa yang tidak mempunyai budaya adalah suku bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan disebut biadab.
6. Rumah
Adat
|
Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang
dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah
harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak
tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan
kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu
harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75
meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan
sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu
yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak
dipakai lagi.
Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa
kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan
berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian
ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah
kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong,
dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap
paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding
diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah
sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua
yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi
tamu.
Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2
ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan
ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur
sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2
deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang
disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang
mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung
tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo
berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah
terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan
tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan
dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang
disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan
lambang kesatuan.
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak,
bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula
hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak
bahaya seperti guna-guna dari luar. Ada juga lukisan-lukisan khas dan unik yang
disebut gorga. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada
pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan
merah.
Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik
untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan
atap rumah terbuat dari seng (dulunya dari ijuk).
7.
Gondang
Musik
tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata
“gondang”:
1.
Satu jenis musik
tradisi Batak toba;
2.
Komposisi yang
ditemukan dalam jenis musik tsb. (misalnya komposisi berjudul Gondang
Mula-mula, Gondang Haroharo)
3.
Alat musik “kendang”.
Ada 2 ansambel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan
diluar rumah dihalaman rumah; dan gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam
rumah.
Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup-“obo”),
taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran
melodis dengan sarune tsb), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan
irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi
(biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang
membantu irama.
Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat
lain yang bisa ditemukan di Jaw, India, Cina, dsb. Pemain sarune mempergunakan
teknik yang disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan biarkan
pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik
nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah perlengkapan terdiri dari lima
kendang yang dikunci dan punya peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang
sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga nadanya dikunci dalam
cara yang hampir sama (tapi tidak persis) dengan tangga nada yang dimulai dari
urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan dimusik
Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat
unik, sejauh ini tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik
gamelan yang ditemukan di Jawa dan Bali, sistem tangga nada yang dipakai dalam
musik gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung
pada estetis pemain sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak
variasi diantara kelompik dan daerah yang menambah diversitas kewarisan
kebudayaan ini yang sangat berharga.
Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran
dalam struktur irama. Pola irama gondang disebut doal, dan dalam
konsepsinya mirip siklus gongan yang ditemukan dimusik gamelan dari Jawa dan
Bali, tetapi irama siklus doal lebih singkat.
Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari Cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).
Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari Cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).
Tangga nada yang dipakai
dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang
sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di
Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen
8. Ulos
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos pengihot ni holong, yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang di antara sesama. Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah dari terpaan udara dingin. Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 sumber kehangatan : matahari,api,ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.
Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk
menghangkan badan, tetapi kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain
dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, artinya
mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu.
Dalam pengertian adat Batak "mangulosi" (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.